Good Nine

Good Nine
Wood Cut On Wood And canvas 145X300cm 3 panels

Selasa, 15 Maret 2011

Seniman grafis wood cut: Berpikir dahulu sebelum mencukil

Seniman grafis wood cut: Berpikir dahulu sebelum mencukil: "Mikir Dulu, Baru NyukilTantangan Bagi Sutrisno Oleh M. Dwi Marianto Tulisan ini tentang karya seni grafis Sutrisno dan Sutrisno ..."

saya sedang pusing (Curcol)


Setelah Melewati kegiatan Artist Residency di jakarta Ancol sampai sekarang saya belom membuat sebuah karya baru....
tidak terasa sudah hampir 2 bulan berlalu.
rasanya saya kurang ada semangat untuk memulainya!
ini karena setelah AIR ancol saya balik ke yogya, dan ternyata suasana di kontrakan saya semakin kacau!
karya-karya pada berantakan akibat bangunan tambahan yang di buat oleh pemilik rumah !saya sangat sebel, tapi ya sudahlah...
belom habis kesalnya, karyaku tambah banyak yang rusak akibat dari peliharaan Ibu kos(Tikus) dan bikin tambah pusing! Dinding kamar semua Lembab dan membuat karya jadi rusak!
untung saya bisa menyelamtkan bbrp karya yang baik!
karena itu saya harus mencari kontrakan baru yang lebih baik dari pada dulu!
itulah yang menghambat saya dalam proses berkarya saat ini (15 maret 2011)
aku janji pada diriku sendiri dan kepada semua teman-teman yang suka dengan karya-karyaku, saya akan memulai pembuatan karya baru pada bulan depan awal... karya yang semakin baik dan semakin hebat!
semoga saya bisa membuat semua orang yang melihat karyaku bisa merasakan semangat dan merasa terhibur.
saya senang jika bisa membuat orang tersenyum!


Salam.


SUTRISNO SZ


After Passing the activities Artist Residency at Ancol Jakarta until now I belom create a new work ....

do not feel has been almost 2 months have passed.

I feel there is less enthusiasm to get started!

AIR is because after I go back to Yogya Ancol, and found the atmosphere in my rented getting screwed!

works in a mess due to the additional building made ​​by the owner of the house! I am very resentful, but ya never mind ...

belom out upset, my work adds much damaged by the pet boarding Mother (Rat) and added make me dizzy! Damp walls of all rooms and make the work so damaged!

fortunately I was able to menyelamtkan bbrp good work!

therefore I have to find new and better contract than the first!

that was holding me in the process of work today (15 March 2011)

I promise to myself and to all my friends who like my work, I'll start making new work at the beginning of next month ... work better and more intense!

hopefully I can make all the people who see my work can feel the spirit and feel comforted.

I am happy to make people smile!



regards

SUTRISNO SZ

Tulisan Andre Tanama Untuk saya

“Entah Harus Bersyukur atau Mengumpat Bangsat, ha..ha..ha..”
A.C. Andre Tanama
Sebagai seorang seniman yang juga intens mendalami seni grafis, sungguh amat sulit bagi saya untuk mampu melihat dan mengakui kebolehan orang lain yang bermain di ranah ini. Tetapi ketika bertemu dengan makhluk grafis yang bernama Sutrisno ini, ego yang menutupi mata saya seolah terusir pergi. Betapa tidak, bukan hanya lewat hasil karya seni grafisnya jantung saya dibuat berdegup kencang, tapi juga lewat proses dia berkesenian yang ternyata sangatlah militant. Saya pun geleng-geleng kepala, sebagai seniman yang besar dari seni grafis, saya pun berkata: “Entah harus bersyukur atau mengumpat bangsat, ha..ha..ha..”.
Pertemuan saya dengan Sutrisno sebenarnya telah lama. Saya mengenal Sutrisno pada tahun 2003 saat dia mulai masuk Bimbingan Test Masuk ISI bernama Rautan (Petakumpet). Saat itu saya menjadi Tentor Pembimbing Seni Grafis dan Sutrisno merupakan salah satu calon mahasiswa yang saya kenal sangat giat dalam mengerjakan latihan-latihan, baik itu menggambar bentuk, sketsa maupun membuat karya cetak dengan cap-capan ketela dan percikan sikat gigi. Tapi masa lalu pertemuan itu sebenarnya tidak terlalu menarik bagi saya. Mungkin saja saya hampir melupakannya, jika saya tidak dicengangkan dengan perkembangannya saat ini.
Memang jenjang berkesenian Sutrisno belumlah seberapa jika dibandingkan dengan para maestro seniman yang telah berproses lebih lama. Jadi pengalamannya bereksplorasi dengan seni grafis tentulah masih dapat diperdalam lagi. Tapi kemauan, keberanian dan tekadnya yang nggetih (bhs. Jawa) saya rasa telah menjadi modal utama yang amat berharga untuk meneruskan karier berkeseniannya. Tak banyak seniman muda grafis sekarang ini yang memiliki power seperti dia dalam memperjuangkan seni grafis. Perlu saya tekankan lagi: TIDAK BANYAK.
Ah.. sepertinya dari tadi saya terlalu banyak berceloteh menunjukkan keheranan saya pada sesosok Sutrisno. Perkataan saya jelaslah belum layak di-iya-kan oleh orang lain, terutama oleh seniman lain jika tanpa bukti. Maka sebagai buktinya, lihatlah karya-karyanya dalam pameran tunggal ini sebagai awalnya. Jika anda masih tidak meng-iya-kan pendapat saya, maka koreklah informasi lebih dalam dengan menanyai si seniman sendiri, atau tungguilah hari-harinya yang diisi dengan berkarya selama 20 jam sehari. Setelah itu anda boleh juga berpendapat, mengumpat, atau berusaha mengumpulkan tenaga untuk menyaingi dia.
Saya bukanlah seorang kurator, disini saya hanya menulis tulisan sebagai sesama seniman, sesama pegrafis, sesama teman, sekaligus sesama saingan. “Bangsat, ha..ha..ha..” Jadi tentunya saya tidak mengupas karyanya satu persatu dalam pameran ini. Namun begitu, dalam pameran ini saya melihat kejeliannya yang sungguh dalam mengupas isu yang diangkatnya. Tidak muluk-muluk, dalam pameran ini ia lebih banyak berbicara soal keluarga dalam kemasan visual ilustratif. Beberapa karya mengisahkan kejadian sehari-hari yang pernah dialaminya di keluarga tercintanya, seperti suasana “berantem” dengan kakaknya dan ibu yang ngomel-ngomel menyuruhnya makan. Semuanya ternyata merupakan wujud dari rasa rindunya pada keluarga di Makassar yang telah ditinggalkannya selama 6 tahun. Dan muara dari semuanya adalah sebuah pesan yang intinya: Hargailah keluarga selagi mereka ada bersama kita.
Itu yang saya lihat dari tataran tematik, simple tapi fokus dan mendalam. Dari segi teknis dan visual garapannya juga memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Dari segi ukuran dan kerumitan goresan cukilan, tentu layak kita menggeleng kepala (sekalian mengumpat, ha..ha..ha..). Untuk hal ukuran dan kerumitan karya beberapa seniman muda saya rasa telah berhasil melewati trek ini, sebut saja beberapa nama Ariswan Adhitama, Angga Sukma, dan lain sebagainya. Di mata saya, Sutrisno telah berhasil melampaui beberapa rintangan berstandar tinggi dalam tataran teknis seni grafis murni.
Sepertinya saya sudah lelah mengumpat…. Ha..ha..ha.. maka silahkan gantian anda yang menikmati karyanya, dan mari kita ‘mengumpat’ bersama-sama, ha..ha..ha.. :) GBU (Grafis Bless U)
Sewon, 28 Maret 2009
A.C. Andre Tanama




"Whether or cursing Thankful Must Bastard, ha .. ha .. ha .."
A.C. Andre tanama
As an artist who was also intensely steeped in graphic arts, it is very difficult for me to be able to see and recognize the permissibility of others who play in this realm. But when he met with the graphics being named Sutrisno, the ego that covered my eyes as if driven away. Imagine, not only through the work of graphic art made my heart beat faster, but also through the process of his art which was very militant. I was shaking his head, as a great artist of the graphic arts, I also said: "Either be grateful or curse the bastard, ha .. ha .. ha ..".
My meeting with Sutrisno actually been a long time. I know Sutrisno in 2003 when he started to go Guidance Test Sign ISI named sharpener (Petakumpet). At that time I became Tentor Supervising Graphic Arts and Sutrisno is one candidate who I know are very active in doing the exercises, be it drawing shapes, sketches and prints make this work with the cap-capan cassava and spark a toothbrush. But past the meeting was actually not very interesting for me. Maybe I almost forgot, if I was not stunned by the developments at this time.
Indeed levels Sutrisno art not yet of how when compared with the maestro artist who has stood longer. So explore the graphic arts experience is certainly still be deepened again. But the will, courage and determination that nggetih (bhs. Java) I think has become the main capital is very valuable to continue the career berkeseniannya. Not many young graphic artists today that have the power as he did in fighting for the graphic arts. I need to emphasize again: NOT MANY.
Ah .. looks like I'd been too much chatter show my amazement at the figure Sutrisno. My words clearly not feasible in-yes-it by others, especially by other artists, if without proof. So as a proof, look at his works in this exhibition as the first single. If you are still unable to do so, in my opinion, it koreklah more information by asking the artists themselves, or tungguilah his days are filled with work for 20 hours a day. After that you can also argue, curse, or trying to summon the energy to compete with him.
I am not a curator, here I just write the article as a fellow artist, fellow pegrafis, among friends, as well as fellow rivals. "Bastard, ha .. ha .. ha .." So of course I do not peel his work one by one in this exhibition. However, in this exhibition I saw a really kejeliannya issues raised in the peel. No heroics, in this exhibition he talked more about the family in an illustrative visual packaging. Some of the work tells of daily events that ever happened in his beloved family, like the atmosphere of "fighting" with her sister and mother who grumble-grumble told him to eat. Everything turned out to be a manifestation of a sense of missed on the family in Makassar who had left for 6 years. And the estuary of all is a message which in essence: Appreciate their families while they are here with us.
That's what I see from the thematic level, the focus and the simple but profound. In terms of technical and visual garapannya also has its own level of complexity. In terms of size and complexity of scratches cukilan, we shake our heads certainly worthy of (all cursed, ha .. ha .. ha ..). For this size and complexity of the work of several young artists I feel have made it through this track, call it some name Ariswan Adhitama, Anga Sukma, and so forth. In my eyes, Sutrisno has managed to transcend some of the hurdles of high standard in the graphic arts purely technical level.
Looks like I was tired of swearing .... Ha .. ha .. ha .. then please turn you who enjoy his work, and let's 'cursed' together, ha .. ha .. ha .. :) GBU (Graphic Bless U)
Sewon, March 28, 2009
A.C. Andre tanama

Berpikir dahulu sebelum mencukil


Mikir Dulu, Baru Nyukil
Tantangan Bagi Sutrisno

Oleh M. Dwi Marianto



Tulisan ini tentang karya seni grafis Sutrisno dan Sutrisno sendiri, dan saya sengaja mulai dari sebuah karyanya yang berjudul sederhana Makan Dulu Baru Itu, 2009, melukiskan satu fragmen yang dipetik dari situasi keseharian yang mungkin terjadi di hampir setiap keluarga yang suka makan bersama, dimana beberapa orang secara ragawi berkumpul dan berdekatan, namun perhatian salah satu yang hadir tidak di meja makan, melainkan gentayangan di tempat-tempat lain. Bahkan boleh jadi memegang instrumen lain selain peralatan makan bersama. Dewasa ini banyak orang sudah begitu 'kesetanan' HP, tidak pernah lepas dengan alat komunikasi itu siang, malam dan pagi. Kalau tidak sms-an ya main game, menelefon, atau mengubah-ubah setting-nya, atau menambah-nambahi software lain.
Yang dihadirkan via bahasa grafis cukilan kayu dengan pewarnaan menggunakan tangan adalah suatu fragmen di seputar meja makan setengah bundar, dimana terhidang berbagai makanan, dan minuman, diantaranya: nasi dalam kontainer dan sendok besar nasi, telur digoreng mata sapi, kentang goreng, empal, ikan goreng, ayam goreng, sayuran, krupuk, lada dan garam dalam botol kemasan meja makan masing-masing, ada ceret untuk air minum. Yang dapat diperkirakan akan makan ada tiga figur, yaitu: seekor anjing, seorang perempuan (ibu), dan seerang pemuda (anaknya). Si Anjing digambarkan dengan tatapan ke depan melihat pemirsa, seakan meminta perhatian terhadapnya yang sudah tidak lagi sabar untuk segera menyantap hidangan. Ketidaksabaran itu dilukiskan dengan ekornya yang nampak bergerak-gerak. Di seberang dia adalah seorang pemuda berambut gondrong, ia bertangan enam. Salah satu tangan sedang menyuapkan makanan ke mulutnya yang digambarkan monyong. Tangan yang lain memegang tiga buah handphone sekaligus. Sebuah tangan lain tengah memegang leher gitar dan menekannya sesuai accord tertentu. Tangan lainnya memetik senar electric guitar yang disandangnya. Sebuah tangan lain memegang gelas besar untuk minuman, bisa dibaca kopi karena warnanya. Tangan yang lain ditopangkan pada lutut sebelah kanan. Mata pemuda ini dua pasang. Yang sepasang digambarkan sedang melirik ke kiri ke arah figur yang ada diseberangnya yang berteriak menghardiknya. Dua mata yang lain mengarah ke bawah ke guitar yang yang dimainkannya. Pemuda ini digambarkan tidak punya perhatian ke meja makan yang penuh hidangn yang siap santap. Untuk menyangatkan sikap tidak apresiatif terhadap apa yang sudah tersaji di meja, Sutrisno melukiskan piranti lain yang ada di kepalanya, yaitu headset, dengan apa ia mendengarkan musik.
Di seberang pemuda itu adalah seorang perempuan, digambarkan dengan wajah marah, kedua alisnya hampir beradu, ujung pinggir luar alis itu terangkat ke atas secaa ekstrim. Tangan perempuan ini juga enam jumlahnya. Ia sudah siap makan setelah berusaha keras mempersiapkan segala sesuatu yang ada. Tapi semua usaha dan kerjanya tidak dihargai. Ia jadi geram, salah satu tangan menggebrak meja, tangan lain menuding, sambil berteriak: “Makan dulu!” Sutrisno memanfaatkan berbagai kotras: warna, bentuk, materi subjek, dan ikonnya. Ia mengolah subjek-subjek dan suasananya secara karikatural yaitu dengan cara melebih-lebihkan ekspresi bahasa tubuh, mimik wajah, dan anatomi si figur. Tidak tanggung-tanggung. ekstrim, misalnya 3 pasang tangan pada dua figur terpapar diatas.

Falling in Love, 2009, adalah karya lain Sutrisno yang juga layak disimak karena karakternya yang kuat, melukiskan 2 figur pria dan wanita. Mereka sedang jatuh cinta. Si pria memegang erat rangkain bunga yang masih disembunyikan di bgaian belakang tubuhnya. Ia memegang erat rangkaian bunga yang berwarna merah segar, berdaun hijau, dan dibungkus dengan kemasan biru. Kontras ketiga warna ini. Matanya yang besar menatap tajam tangan pasangannya yang sedang digenggamnya. Baju si pria ini juga merah, seperti warna darah segar lambang hidup atau cinta. Rambutnya hitam lebat, mengkilat. Di hadapannya sang wanita, rambutnya diwarna hijau, juga mengkilat, dikucir kanan dan kiri dengan pita meringkel warna biru. Ia mengenakan anting-anting dengan bandul besar, menarik perhatian, seperti anting-anting masa kini. Bibirnya merah muda, demikian pula pipinya kemerahan. Bajunya kuning berstrip hitam vertikal. Tangan kanan menopang dagu. tanda malu atau tersipu, namun senang. Kedua matanya terpejam, rupanya ia sedang menikmati kehangatan dari pemuda yang menggenggam tangan kirinya. Ada bentuk hati yang berekor biru dan merah muda, nampak melayang ke atas dari antara kedua kepala figur. Sutrisno mampu memanfaatkan karakter goresan yang terbantuk secara tajam dari goresan pisau cukil teknik woodcutting. Anatominya memang tidak terlalu tepat, tetapi sudah cukup membangun efek karikatural, dengan apa sifat atau karakter tertentu disangatkan.

Sutrisno, pegrafis muda, kelahiran Makassar 1983, dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan. Dari Makassar kalau naik mobil pribadi ditempuh kurang-lebih 4 jam, melalui jalan yang kiri-kanannya jurang-jurang terjal, lagi pula dilewati truk-truk berukuran besar. Keluarga dari mana Sutrisno berasal tinggal di daerah pasar sentral yang ramai di siang hari tetapi lengang setelah jam empat sore. Hiburan permainan dan tempat rekreasi yang terbuka di dalam kota boleh dikatakan tidak ada. Bagi Sutrisno ketika masih di kampung dulu, hiburan yang utama adalah berkumpul dengan keluarga, dan ikut aktivitas peribadatan. Ayah Sutrisno adalah seorang pendeta dari satu-satunya wihara Budhis aliran Mahayana, Budha Dharma Indonesia di daerah itu dengan umat yang masih sangat sedikit, ia punya kebisaan dan sering membuat kaligrafi china di sela-sela kesibukannya mengurus toko kelontong dan usaha foto-kopi. Ibunya suka membuat baju, dan untuk keperluan inilah ia suka menggambar model-model untuk baju yang akan ia buat. Barangkali dari bakat seni kedua orang tuanya lah Sutrisno memilih profesi sebagai seniman. Di masa kanak-kana dan remaja Sutrisno sering berpartisipasi dalam kegiatan wihara yang mengadakan pertemuan 2 kali seminggu, masing-masing 2 jam. Dalam acara itu ada pula program untuk anak-anak, diantaranya: lipat kertas dan kegiatan ketramplan lain. Ketika masih di sekolah dasar Sutrisno menjadi bagian dari Tim Bintang wihara, dan menjadi salah seorang pengurus ketika belajar di SMP. Semasa di SMA ia ikut mengurus generasi muda wihara.

Sejak kecil punya minat menjadi komikus, karena ia gemar menggambar. Dunia dan perbendaharaan visualnya terbentuk oleh kebiasaan membaca cerita-cerita bergambar dari berbagai majalah. Kesempatan ini dimungkinkan karena orang-tuanya dulu pernah punya bisnis usaha percetakan dan menjual surat-kabar dan majalah. Majalah-majalah yang belum laku terjual bisa dibacanya dulu.Beberapa kali ia memenangkan lomba-lomba menggambar dan melukis yang diselenggarakan di Bone. Namun lama-kelamaan interest-nya berubah, yang membuatnya ingin jadi bintang film, selebriti tentunya. Setelah berjalan beberapa waktu ia ingin jadi seorang ilustrator dan grafikus.

Ketika membuat karya Sutrisno senang mengangkat tema-tema yang diangkat dari pengalaman-pengalaman yang ia alami benar dalam keseharian. Inilah kekuatan dia, yaitu mampu melihat hal-hal menarik dan bisa dipakai dalam konteks-konteks kesekarangan dari peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari. Misalnya untuk karya yang dibahas diatas Makan Dulu Baru Itu, ia menyoroti peristiwa kecil keseharian di seputar meja untuk makan bersama keluarga. Karya-karya lain diambil dari pengalaman-pengalaman bermain, bercengkerama dengan saudaranya dan orang tua, atau dari pergaulan muda-mudi. Yang dipentingkan bukan besar kecil peristiwa terjadi yang disoroti, melainkan intensitas perasan yang dirasakannya yang diupayakan hadir seoptimal mungkin via bahasa grafisnya.

Rangsangan untuk berkesenian di Makassar tidak sekuat di Yogyakarta yang sekarang hampir setiap hari ada pembukaan pameran, atau minimal ada pameran di beberapa tempat bergiliran atau sekaligus. Sutrisno banyak belajar di kota yang dihuni oleh banyak seniman dan calon seniman yang berasal dari berbagai daerah dan budaya. Di Makassar belum ada sekolah seni yang berbasis praktik. Sehubungan dengan inilah ia berangan-angan untuk suatu saat mendirikan sekolah seni di Makassar. Keinginan ini dikarenakan, menurut pengamatan dia selama ini, minat budaya masyarakat disana akan seni masih sangat terbatas. Rata-rata orang studi di bidang politik, hukum, ekonomi dan akuntansi, serta manajemen. Realita budaya yang menjadi kelaziman umum di Makassar itulah yang membuatnya termotivasi untuk belajar ke luar daerah.

Mengapa ke Yogyakarta?
Sutrisno bukan pemuda yang terbiasa menjelajah ketika lulus SMA. Bukan pula orang yang berani. Ketergantungannya pada orang-tua dan support kebersemaan keluarga sangatlah besar. Semula ia tidak punya rencana ke Yogyakarta. Jauh, dan belum ia kenal. Sesuatu yang tidak dikenal, sama saja seperti sesuatu yang tersimpan di file dalam harddisk komputer. Yogyakarta masih abstrak di benak Sutrisno sebelum ia punya interest ke Yogyakarta. Inilah poinnya, bahwa segala sesuatu baru ada dan bermakna setelah ia kita kenal dan kita amati secara seksama. Ceritanya demikian.
Pada suatu ketika ada kenalan ayahnya bernama Pak Rudi seorang pandita dari luar provinsi yang berceramah di komunitas Buddhis di Bone. Dalam ceramah itu Pak Rudi mengatakan satu pernyataan yang bunyinya kira-kira demikian: “Orang laki-laki yang cuma di rumah atau di daerahnya sendiri, tidak akan jadi apa-apa. Seandainya ia kaya, itu juga karena mendapat kemudahan atau warisan dari orang tua. Dan, kalau lelaki itu tidak punya kelebihan yang bias dibanggakan, para wanita tidak tertarik kepadanya”. Pernyataan ini benar-benar membuatnya sadar. Sutrisno tertantang untuk ke luar kampung, merantau. Ia lalu berpatokan pada konsep yang bunyinya kira-kira begini 'Tidak ada kata tak bisa, kalau orang lain bisa'. Lalu ia putuskan untuk pergi ke, dan belajar seni di Yogyakarta. Dari Makassar ke Yogyakarta ia harus naik kapal laut dulu ke Surabaya selama 3 hari dua malam, lalu ambil transportasi sambungan ke Yogyakarta – ia naik kendaraan travel. Untuk alasan praktis Sutrisno transit dulu dan memanfaatkan relasinya dengan komunitas Buddhis di Yogyakarta, dan secara kongkrit ia datang ke Wihara Buddhis di Jalan Soka, dekat Kridosono, Yogyakarta, tempat dimana sampai sekarang ia masih meminjam alamat dalam masalah kirim-mengirim barang atau surat.
Di Yogyakarta Sutrisno belajar banyak, ia harus berhubungan dengan orang-orang dan rekan-rekan dari berbagai budaya. Terbukalah mata dan cakrawala budayanya. Kalau dulu di kampungnya banyak orang, dan kebanyakan orang belajar ekonomi, manajemen, atau akuntansi, di Yogyakarta orang belajar macam-macam. Dan, banyak hal yang bisa dipelajari oleh Sutrisno tanpa harus mengeluarkan biaya. Salah satunya tentang budaya dan multikulturalisme. Tantangan berkarya juga besar di Yogyakarta, ia mendapat banyak saingan dan tantangan dari sesama mahasiswa. Dimensi karyanya yang relatif besar dalam konteks kesenigrafisan adalah salah satu untuk menjawab tantangan itu. Dari berbagai tantangan itulah ia belajar banyak hal: kemandirian, keterbukaan budaya, dan berbagai kebiasaan serta adat-istiadat yang tidak akan pernah ia dapatkan apabila ia masih berada di Kabupaten Watampone, Sulawesi Selatan.
Berkarya seni grafis yang sekarang ditekuni secara habis-habisan baginya bukan suatu media yang mudah dikuasai. Ia baru bisa berfikir secara alamiah dengan media grafis setelah ia mengeluti seni grafis di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, kurang lebih 4 semester. Mengapa? Sebab ketika orang membuat alat cetak grafis ia harus berfikir terbalik, diantaranya: kiri jadi kanan, yang dicukil dalam cukilan kayu jadi bagian yang tidak mencetak; yang tidak dicukillah yang akan membubuhkan tinta. Problemnya terasa sekali apabila seseorang harus membuat tulisan pada karya grafisnya, sebab ia harus menulis terbalik seperti tulisan yang terbalik dalam cermin. Sekarang keterbalikan itu telah menjadi alam berfikir visual kedua baginya. Dan, ternyata berfikir terbalik, dan/atau bolak-balik ini mempengaruhi cara pandang dia terhadap realitas. Ini membuatnya lebih peka dalam melihat potensi dari hal-hal yang dalam keadaan biasa tak terlihat maknanya.

Dimana Sutrisno dalam Peta Seni Grafis?
Sutrisno adalah pendatang baru di dunia seni grafis di Yogyakarta – kota yang telah melahirkan pegrafis-pegrafis andal untuk Indonesia, seperti: Widayat (almarhum), Y. Eko Suprihadi, Mansyur, Edi Sunaryo, Pahlevi, Yamyuli Dwi Imam, Pracoyo, Sri Maryanto, AT Sitompul, Andre Tanama dan beberapa pegiat seni grafis yang tidak sempat tersebut. Kompleksitas seni grafis baginya, misalnya keharusan berfikir detil sebelum mengeksekusi proses pengerjaannya, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Sebagai misal, salah mencukil dalam cukilan kayu berakibat fatal, terutama dalam pembuatan cetakannya, dan dalam proses mencetaknya.
Walau begitu Sutrisno tidak termasuk pegrafis yang terpaku pada teknik konvensional seni grafis, ia mengikuti para pegrafis cukilan kayu yang mewarnai hasil cetaknya pada kanvas dengan teknik hand-colouring. Konsep pembentukan bahasa kreatif dan perbendaharaan visualnya dipengaruhi oleh ketrampilannya mengolah gambar dan membuat animasi. Perlu diketahui, setelah 5 semester studi di FSR ISI Yogyakarta, tahun 2006, Sutrisno belajar animasi dalam program diploma 1 di Cybermedia. Maka jadi wajarlah kalau dalam efek gerak dan gerakan sering muncul dalam menganimasi figur-figur yang ditonjolkan. Misalnya, efek gerak-gerak ekor anjing dalam karyanya yang berjudul Makan Dulu Baru Itu. Melihat pola kerja, komitmen dan kekuatan olah grafis, dan kekuatannya menganimasi ide-ide simpel menjadi luar biasa, dapat dikatakan bahwa Sutrisno adalah salah satu dari sejumlah kecil pegrafis muda yang sangat menjanjikan untuk ukuran nasional
Untuk menjadikan karya-karya Sutrisno lebih menjanjikan lagi kiranya ada baiknya Sutrisno terus mengevaluasi dan merefleksi aspek-aspek teknis artistik dan konsepsualnya. Jangan sampai ada karyanya yang jadi terlalu 'manis', atau terlalu 'asin'. Berkait dengan ini ada satu hal yang menurut saya bisa dikoreksi untuk karya-karya Sutrisno mendatang. Pada karya Fall in Love, dan karya Belajar Memasak elemen-elemen yang sebenarnya tidak perlu dinyatakan, yaitu: tanda 'hati' simbol cinta pada Falling in Love; dan tanda 'tanda-tanya' pada karya Belajar Masak. Karena tanpa tanda-tanda tambahan itu pemirsa sudah mengerti maksudnya. Pada karya pertama, warna, bahasa tubuh, dan mimik figur-figurnya sudah menyiratkan rasa cinta yang mau Sutrisno katakan; di karya yang satunya lain bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya sudah menyiratkan kebingungan yang menghinggapi orang yang sedang belajar masak. Sebagai tip untuk ini ada baiknya dipertimbangkan satu ungkapan dari Taoisme yang kira-kiranya bunyinya demikian: 'Kalau bisa lima mengapa harus enam; kalau bisa tiga, mengapa empat?'

Nam myo ho ren ge kyo



Yogyakarta, Maret 2009
M. Dwi Marianto
PPs ISI Yogyakarta







Pendapat M.Dwi Marianto tentang saya pada saat pameran tunggal


Mikir Dulu, Baru Nyukil
Tantangan Bagi Sutrisno

Oleh M. Dwi Marianto



Tulisan ini tentang karya seni grafis Sutrisno dan Sutrisno sendiri, dan saya sengaja mulai dari sebuah karyanya yang berjudul sederhana Makan Dulu Baru Itu, 2009, melukiskan satu fragmen yang dipetik dari situasi keseharian yang mungkin terjadi di hampir setiap keluarga yang suka makan bersama, dimana beberapa orang secara ragawi berkumpul dan berdekatan, namun perhatian salah satu yang hadir tidak di meja makan, melainkan gentayangan di tempat-tempat lain. Bahkan boleh jadi memegang instrumen lain selain peralatan makan bersama. Dewasa ini banyak orang sudah begitu 'kesetanan' HP, tidak pernah lepas dengan alat komunikasi itu siang, malam dan pagi. Kalau tidak sms-an ya main game, menelefon, atau mengubah-ubah setting-nya, atau menambah-nambahi software lain.
Yang dihadirkan via bahasa grafis cukilan kayu dengan pewarnaan menggunakan tangan adalah suatu fragmen di seputar meja makan setengah bundar, dimana terhidang berbagai makanan, dan minuman, diantaranya: nasi dalam kontainer dan sendok besar nasi, telur digoreng mata sapi, kentang goreng, empal, ikan goreng, ayam goreng, sayuran, krupuk, lada dan garam dalam botol kemasan meja makan masing-masing, ada ceret untuk air minum. Yang dapat diperkirakan akan makan ada tiga figur, yaitu: seekor anjing, seorang perempuan (ibu), dan seerang pemuda (anaknya). Si Anjing digambarkan dengan tatapan ke depan melihat pemirsa, seakan meminta perhatian terhadapnya yang sudah tidak lagi sabar untuk segera menyantap hidangan. Ketidaksabaran itu dilukiskan dengan ekornya yang nampak bergerak-gerak. Di seberang dia adalah seorang pemuda berambut gondrong, ia bertangan enam. Salah satu tangan sedang menyuapkan makanan ke mulutnya yang digambarkan monyong. Tangan yang lain memegang tiga buah handphone sekaligus. Sebuah tangan lain tengah memegang leher gitar dan menekannya sesuai accord tertentu. Tangan lainnya memetik senar electric guitar yang disandangnya. Sebuah tangan lain memegang gelas besar untuk minuman, bisa dibaca kopi karena warnanya. Tangan yang lain ditopangkan pada lutut sebelah kanan. Mata pemuda ini dua pasang. Yang sepasang digambarkan sedang melirik ke kiri ke arah figur yang ada diseberangnya yang berteriak menghardiknya. Dua mata yang lain mengarah ke bawah ke guitar yang yang dimainkannya. Pemuda ini digambarkan tidak punya perhatian ke meja makan yang penuh hidangn yang siap santap. Untuk menyangatkan sikap tidak apresiatif terhadap apa yang sudah tersaji di meja, Sutrisno melukiskan piranti lain yang ada di kepalanya, yaitu headset, dengan apa ia mendengarkan musik.
Di seberang pemuda itu adalah seorang perempuan, digambarkan dengan wajah marah, kedua alisnya hampir beradu, ujung pinggir luar alis itu terangkat ke atas secaa ekstrim. Tangan perempuan ini juga enam jumlahnya. Ia sudah siap makan setelah berusaha keras mempersiapkan segala sesuatu yang ada. Tapi semua usaha dan kerjanya tidak dihargai. Ia jadi geram, salah satu tangan menggebrak meja, tangan lain menuding, sambil berteriak: “Makan dulu!” Sutrisno memanfaatkan berbagai kotras: warna, bentuk, materi subjek, dan ikonnya. Ia mengolah subjek-subjek dan suasananya secara karikatural yaitu dengan cara melebih-lebihkan ekspresi bahasa tubuh, mimik wajah, dan anatomi si figur. Tidak tanggung-tanggung. ekstrim, misalnya 3 pasang tangan pada dua figur terpapar diatas.

Falling in Love, 2009, adalah karya lain Sutrisno yang juga layak disimak karena karakternya yang kuat, melukiskan 2 figur pria dan wanita. Mereka sedang jatuh cinta. Si pria memegang erat rangkain bunga yang masih disembunyikan di bgaian belakang tubuhnya. Ia memegang erat rangkaian bunga yang berwarna merah segar, berdaun hijau, dan dibungkus dengan kemasan biru. Kontras ketiga warna ini. Matanya yang besar menatap tajam tangan pasangannya yang sedang digenggamnya. Baju si pria ini juga merah, seperti warna darah segar lambang hidup atau cinta. Rambutnya hitam lebat, mengkilat. Di hadapannya sang wanita, rambutnya diwarna hijau, juga mengkilat, dikucir kanan dan kiri dengan pita meringkel warna biru. Ia mengenakan anting-anting dengan bandul besar, menarik perhatian, seperti anting-anting masa kini. Bibirnya merah muda, demikian pula pipinya kemerahan. Bajunya kuning berstrip hitam vertikal. Tangan kanan menopang dagu. tanda malu atau tersipu, namun senang. Kedua matanya terpejam, rupanya ia sedang menikmati kehangatan dari pemuda yang menggenggam tangan kirinya. Ada bentuk hati yang berekor biru dan merah muda, nampak melayang ke atas dari antara kedua kepala figur. Sutrisno mampu memanfaatkan karakter goresan yang terbantuk secara tajam dari goresan pisau cukil teknik woodcutting. Anatominya memang tidak terlalu tepat, tetapi sudah cukup membangun efek karikatural, dengan apa sifat atau karakter tertentu disangatkan.

Sutrisno, pegrafis muda, kelahiran Makassar 1983, dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan. Dari Makassar kalau naik mobil pribadi ditempuh kurang-lebih 4 jam, melalui jalan yang kiri-kanannya jurang-jurang terjal, lagi pula dilewati truk-truk berukuran besar. Keluarga dari mana Sutrisno berasal tinggal di daerah pasar sentral yang ramai di siang hari tetapi lengang setelah jam empat sore. Hiburan permainan dan tempat rekreasi yang terbuka di dalam kota boleh dikatakan tidak ada. Bagi Sutrisno ketika masih di kampung dulu, hiburan yang utama adalah berkumpul dengan keluarga, dan ikut aktivitas peribadatan. Ayah Sutrisno adalah seorang pendeta dari satu-satunya wihara Budhis aliran Mahayana, Budha Dharma Indonesia di daerah itu dengan umat yang masih sangat sedikit, ia punya kebisaan dan sering membuat kaligrafi china di sela-sela kesibukannya mengurus toko kelontong dan usaha foto-kopi. Ibunya suka membuat baju, dan untuk keperluan inilah ia suka menggambar model-model untuk baju yang akan ia buat. Barangkali dari bakat seni kedua orang tuanya lah Sutrisno memilih profesi sebagai seniman. Di masa kanak-kana dan remaja Sutrisno sering berpartisipasi dalam kegiatan wihara yang mengadakan pertemuan 2 kali seminggu, masing-masing 2 jam. Dalam acara itu ada pula program untuk anak-anak, diantaranya: lipat kertas dan kegiatan ketramplan lain. Ketika masih di sekolah dasar Sutrisno menjadi bagian dari Tim Bintang wihara, dan menjadi salah seorang pengurus ketika belajar di SMP. Semasa di SMA ia ikut mengurus generasi muda wihara.

Sejak kecil punya minat menjadi komikus, karena ia gemar menggambar. Dunia dan perbendaharaan visualnya terbentuk oleh kebiasaan membaca cerita-cerita bergambar dari berbagai majalah. Kesempatan ini dimungkinkan karena orang-tuanya dulu pernah punya bisnis usaha percetakan dan menjual surat-kabar dan majalah. Majalah-majalah yang belum laku terjual bisa dibacanya dulu.Beberapa kali ia memenangkan lomba-lomba menggambar dan melukis yang diselenggarakan di Bone. Namun lama-kelamaan interest-nya berubah, yang membuatnya ingin jadi bintang film, selebriti tentunya. Setelah berjalan beberapa waktu ia ingin jadi seorang ilustrator dan grafikus.

Ketika membuat karya Sutrisno senang mengangkat tema-tema yang diangkat dari pengalaman-pengalaman yang ia alami benar dalam keseharian. Inilah kekuatan dia, yaitu mampu melihat hal-hal menarik dan bisa dipakai dalam konteks-konteks kesekarangan dari peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari. Misalnya untuk karya yang dibahas diatas Makan Dulu Baru Itu, ia menyoroti peristiwa kecil keseharian di seputar meja untuk makan bersama keluarga. Karya-karya lain diambil dari pengalaman-pengalaman bermain, bercengkerama dengan saudaranya dan orang tua, atau dari pergaulan muda-mudi. Yang dipentingkan bukan besar kecil peristiwa terjadi yang disoroti, melainkan intensitas perasan yang dirasakannya yang diupayakan hadir seoptimal mungkin via bahasa grafisnya.

Rangsangan untuk berkesenian di Makassar tidak sekuat di Yogyakarta yang sekarang hampir setiap hari ada pembukaan pameran, atau minimal ada pameran di beberapa tempat bergiliran atau sekaligus. Sutrisno banyak belajar di kota yang dihuni oleh banyak seniman dan calon seniman yang berasal dari berbagai daerah dan budaya. Di Makassar belum ada sekolah seni yang berbasis praktik. Sehubungan dengan inilah ia berangan-angan untuk suatu saat mendirikan sekolah seni di Makassar. Keinginan ini dikarenakan, menurut pengamatan dia selama ini, minat budaya masyarakat disana akan seni masih sangat terbatas. Rata-rata orang studi di bidang politik, hukum, ekonomi dan akuntansi, serta manajemen. Realita budaya yang menjadi kelaziman umum di Makassar itulah yang membuatnya termotivasi untuk belajar ke luar daerah.

Mengapa ke Yogyakarta?
Sutrisno bukan pemuda yang terbiasa menjelajah ketika lulus SMA. Bukan pula orang yang berani. Ketergantungannya pada orang-tua dan support kebersemaan keluarga sangatlah besar. Semula ia tidak punya rencana ke Yogyakarta. Jauh, dan belum ia kenal. Sesuatu yang tidak dikenal, sama saja seperti sesuatu yang tersimpan di file dalam harddisk komputer. Yogyakarta masih abstrak di benak Sutrisno sebelum ia punya interest ke Yogyakarta. Inilah poinnya, bahwa segala sesuatu baru ada dan bermakna setelah ia kita kenal dan kita amati secara seksama. Ceritanya demikian.
Pada suatu ketika ada kenalan ayahnya bernama Pak Rudi seorang pandita dari luar provinsi yang berceramah di komunitas Buddhis di Bone. Dalam ceramah itu Pak Rudi mengatakan satu pernyataan yang bunyinya kira-kira demikian: “Orang laki-laki yang cuma di rumah atau di daerahnya sendiri, tidak akan jadi apa-apa. Seandainya ia kaya, itu juga karena mendapat kemudahan atau warisan dari orang tua. Dan, kalau lelaki itu tidak punya kelebihan yang bias dibanggakan, para wanita tidak tertarik kepadanya”. Pernyataan ini benar-benar membuatnya sadar. Sutrisno tertantang untuk ke luar kampung, merantau. Ia lalu berpatokan pada konsep yang bunyinya kira-kira begini 'Tidak ada kata tak bisa, kalau orang lain bisa'. Lalu ia putuskan untuk pergi ke, dan belajar seni di Yogyakarta. Dari Makassar ke Yogyakarta ia harus naik kapal laut dulu ke Surabaya selama 3 hari dua malam, lalu ambil transportasi sambungan ke Yogyakarta – ia naik kendaraan travel. Untuk alasan praktis Sutrisno transit dulu dan memanfaatkan relasinya dengan komunitas Buddhis di Yogyakarta, dan secara kongkrit ia datang ke Wihara Buddhis di Jalan Soka, dekat Kridosono, Yogyakarta, tempat dimana sampai sekarang ia masih meminjam alamat dalam masalah kirim-mengirim barang atau surat.
Di Yogyakarta Sutrisno belajar banyak, ia harus berhubungan dengan orang-orang dan rekan-rekan dari berbagai budaya. Terbukalah mata dan cakrawala budayanya. Kalau dulu di kampungnya banyak orang, dan kebanyakan orang belajar ekonomi, manajemen, atau akuntansi, di Yogyakarta orang belajar macam-macam. Dan, banyak hal yang bisa dipelajari oleh Sutrisno tanpa harus mengeluarkan biaya. Salah satunya tentang budaya dan multikulturalisme. Tantangan berkarya juga besar di Yogyakarta, ia mendapat banyak saingan dan tantangan dari sesama mahasiswa. Dimensi karyanya yang relatif besar dalam konteks kesenigrafisan adalah salah satu untuk menjawab tantangan itu. Dari berbagai tantangan itulah ia belajar banyak hal: kemandirian, keterbukaan budaya, dan berbagai kebiasaan serta adat-istiadat yang tidak akan pernah ia dapatkan apabila ia masih berada di Kabupaten Watampone, Sulawesi Selatan.
Berkarya seni grafis yang sekarang ditekuni secara habis-habisan baginya bukan suatu media yang mudah dikuasai. Ia baru bisa berfikir secara alamiah dengan media grafis setelah ia mengeluti seni grafis di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, kurang lebih 4 semester. Mengapa? Sebab ketika orang membuat alat cetak grafis ia harus berfikir terbalik, diantaranya: kiri jadi kanan, yang dicukil dalam cukilan kayu jadi bagian yang tidak mencetak; yang tidak dicukillah yang akan membubuhkan tinta. Problemnya terasa sekali apabila seseorang harus membuat tulisan pada karya grafisnya, sebab ia harus menulis terbalik seperti tulisan yang terbalik dalam cermin. Sekarang keterbalikan itu telah menjadi alam berfikir visual kedua baginya. Dan, ternyata berfikir terbalik, dan/atau bolak-balik ini mempengaruhi cara pandang dia terhadap realitas. Ini membuatnya lebih peka dalam melihat potensi dari hal-hal yang dalam keadaan biasa tak terlihat maknanya.

Dimana Sutrisno dalam Peta Seni Grafis?
Sutrisno adalah pendatang baru di dunia seni grafis di Yogyakarta – kota yang telah melahirkan pegrafis-pegrafis andal untuk Indonesia, seperti: Widayat (almarhum), Y. Eko Suprihadi, Mansyur, Edi Sunaryo, Pahlevi, Yamyuli Dwi Imam, Pracoyo, Sri Maryanto, AT Sitompul, Andre Tanama dan beberapa pegiat seni grafis yang tidak sempat tersebut. Kompleksitas seni grafis baginya, misalnya keharusan berfikir detil sebelum mengeksekusi proses pengerjaannya, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Sebagai misal, salah mencukil dalam cukilan kayu berakibat fatal, terutama dalam pembuatan cetakannya, dan dalam proses mencetaknya.
Walau begitu Sutrisno tidak termasuk pegrafis yang terpaku pada teknik konvensional seni grafis, ia mengikuti para pegrafis cukilan kayu yang mewarnai hasil cetaknya pada kanvas dengan teknik hand-colouring. Konsep pembentukan bahasa kreatif dan perbendaharaan visualnya dipengaruhi oleh ketrampilannya mengolah gambar dan membuat animasi. Perlu diketahui, setelah 5 semester studi di FSR ISI Yogyakarta, tahun 2006, Sutrisno belajar animasi dalam program diploma 1 di Cybermedia. Maka jadi wajarlah kalau dalam efek gerak dan gerakan sering muncul dalam menganimasi figur-figur yang ditonjolkan. Misalnya, efek gerak-gerak ekor anjing dalam karyanya yang berjudul Makan Dulu Baru Itu. Melihat pola kerja, komitmen dan kekuatan olah grafis, dan kekuatannya menganimasi ide-ide simpel menjadi luar biasa, dapat dikatakan bahwa Sutrisno adalah salah satu dari sejumlah kecil pegrafis muda yang sangat menjanjikan untuk ukuran nasional
Untuk menjadikan karya-karya Sutrisno lebih menjanjikan lagi kiranya ada baiknya Sutrisno terus mengevaluasi dan merefleksi aspek-aspek teknis artistik dan konsepsualnya. Jangan sampai ada karyanya yang jadi terlalu 'manis', atau terlalu 'asin'. Berkait dengan ini ada satu hal yang menurut saya bisa dikoreksi untuk karya-karya Sutrisno mendatang. Pada karya Fall in Love, dan karya Belajar Memasak elemen-elemen yang sebenarnya tidak perlu dinyatakan, yaitu: tanda 'hati' simbol cinta pada Falling in Love; dan tanda 'tanda-tanya' pada karya Belajar Masak. Karena tanpa tanda-tanda tambahan itu pemirsa sudah mengerti maksudnya. Pada karya pertama, warna, bahasa tubuh, dan mimik figur-figurnya sudah menyiratkan rasa cinta yang mau Sutrisno katakan; di karya yang satunya lain bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya sudah menyiratkan kebingungan yang menghinggapi orang yang sedang belajar masak. Sebagai tip untuk ini ada baiknya dipertimbangkan satu ungkapan dari Taoisme yang kira-kiranya bunyinya demikian: 'Kalau bisa lima mengapa harus enam; kalau bisa tiga, mengapa empat?'

Nam myo ho ren ge kyo



Yogyakarta, Maret 2009
M. Dwi Marianto
PPs ISI Yogyakarta