Good Nine

Good Nine
Wood Cut On Wood And canvas 145X300cm 3 panels

Selasa, 15 Maret 2011

Pendapat M.Dwi Marianto tentang saya pada saat pameran tunggal


Mikir Dulu, Baru Nyukil
Tantangan Bagi Sutrisno

Oleh M. Dwi Marianto



Tulisan ini tentang karya seni grafis Sutrisno dan Sutrisno sendiri, dan saya sengaja mulai dari sebuah karyanya yang berjudul sederhana Makan Dulu Baru Itu, 2009, melukiskan satu fragmen yang dipetik dari situasi keseharian yang mungkin terjadi di hampir setiap keluarga yang suka makan bersama, dimana beberapa orang secara ragawi berkumpul dan berdekatan, namun perhatian salah satu yang hadir tidak di meja makan, melainkan gentayangan di tempat-tempat lain. Bahkan boleh jadi memegang instrumen lain selain peralatan makan bersama. Dewasa ini banyak orang sudah begitu 'kesetanan' HP, tidak pernah lepas dengan alat komunikasi itu siang, malam dan pagi. Kalau tidak sms-an ya main game, menelefon, atau mengubah-ubah setting-nya, atau menambah-nambahi software lain.
Yang dihadirkan via bahasa grafis cukilan kayu dengan pewarnaan menggunakan tangan adalah suatu fragmen di seputar meja makan setengah bundar, dimana terhidang berbagai makanan, dan minuman, diantaranya: nasi dalam kontainer dan sendok besar nasi, telur digoreng mata sapi, kentang goreng, empal, ikan goreng, ayam goreng, sayuran, krupuk, lada dan garam dalam botol kemasan meja makan masing-masing, ada ceret untuk air minum. Yang dapat diperkirakan akan makan ada tiga figur, yaitu: seekor anjing, seorang perempuan (ibu), dan seerang pemuda (anaknya). Si Anjing digambarkan dengan tatapan ke depan melihat pemirsa, seakan meminta perhatian terhadapnya yang sudah tidak lagi sabar untuk segera menyantap hidangan. Ketidaksabaran itu dilukiskan dengan ekornya yang nampak bergerak-gerak. Di seberang dia adalah seorang pemuda berambut gondrong, ia bertangan enam. Salah satu tangan sedang menyuapkan makanan ke mulutnya yang digambarkan monyong. Tangan yang lain memegang tiga buah handphone sekaligus. Sebuah tangan lain tengah memegang leher gitar dan menekannya sesuai accord tertentu. Tangan lainnya memetik senar electric guitar yang disandangnya. Sebuah tangan lain memegang gelas besar untuk minuman, bisa dibaca kopi karena warnanya. Tangan yang lain ditopangkan pada lutut sebelah kanan. Mata pemuda ini dua pasang. Yang sepasang digambarkan sedang melirik ke kiri ke arah figur yang ada diseberangnya yang berteriak menghardiknya. Dua mata yang lain mengarah ke bawah ke guitar yang yang dimainkannya. Pemuda ini digambarkan tidak punya perhatian ke meja makan yang penuh hidangn yang siap santap. Untuk menyangatkan sikap tidak apresiatif terhadap apa yang sudah tersaji di meja, Sutrisno melukiskan piranti lain yang ada di kepalanya, yaitu headset, dengan apa ia mendengarkan musik.
Di seberang pemuda itu adalah seorang perempuan, digambarkan dengan wajah marah, kedua alisnya hampir beradu, ujung pinggir luar alis itu terangkat ke atas secaa ekstrim. Tangan perempuan ini juga enam jumlahnya. Ia sudah siap makan setelah berusaha keras mempersiapkan segala sesuatu yang ada. Tapi semua usaha dan kerjanya tidak dihargai. Ia jadi geram, salah satu tangan menggebrak meja, tangan lain menuding, sambil berteriak: “Makan dulu!” Sutrisno memanfaatkan berbagai kotras: warna, bentuk, materi subjek, dan ikonnya. Ia mengolah subjek-subjek dan suasananya secara karikatural yaitu dengan cara melebih-lebihkan ekspresi bahasa tubuh, mimik wajah, dan anatomi si figur. Tidak tanggung-tanggung. ekstrim, misalnya 3 pasang tangan pada dua figur terpapar diatas.

Falling in Love, 2009, adalah karya lain Sutrisno yang juga layak disimak karena karakternya yang kuat, melukiskan 2 figur pria dan wanita. Mereka sedang jatuh cinta. Si pria memegang erat rangkain bunga yang masih disembunyikan di bgaian belakang tubuhnya. Ia memegang erat rangkaian bunga yang berwarna merah segar, berdaun hijau, dan dibungkus dengan kemasan biru. Kontras ketiga warna ini. Matanya yang besar menatap tajam tangan pasangannya yang sedang digenggamnya. Baju si pria ini juga merah, seperti warna darah segar lambang hidup atau cinta. Rambutnya hitam lebat, mengkilat. Di hadapannya sang wanita, rambutnya diwarna hijau, juga mengkilat, dikucir kanan dan kiri dengan pita meringkel warna biru. Ia mengenakan anting-anting dengan bandul besar, menarik perhatian, seperti anting-anting masa kini. Bibirnya merah muda, demikian pula pipinya kemerahan. Bajunya kuning berstrip hitam vertikal. Tangan kanan menopang dagu. tanda malu atau tersipu, namun senang. Kedua matanya terpejam, rupanya ia sedang menikmati kehangatan dari pemuda yang menggenggam tangan kirinya. Ada bentuk hati yang berekor biru dan merah muda, nampak melayang ke atas dari antara kedua kepala figur. Sutrisno mampu memanfaatkan karakter goresan yang terbantuk secara tajam dari goresan pisau cukil teknik woodcutting. Anatominya memang tidak terlalu tepat, tetapi sudah cukup membangun efek karikatural, dengan apa sifat atau karakter tertentu disangatkan.

Sutrisno, pegrafis muda, kelahiran Makassar 1983, dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan. Dari Makassar kalau naik mobil pribadi ditempuh kurang-lebih 4 jam, melalui jalan yang kiri-kanannya jurang-jurang terjal, lagi pula dilewati truk-truk berukuran besar. Keluarga dari mana Sutrisno berasal tinggal di daerah pasar sentral yang ramai di siang hari tetapi lengang setelah jam empat sore. Hiburan permainan dan tempat rekreasi yang terbuka di dalam kota boleh dikatakan tidak ada. Bagi Sutrisno ketika masih di kampung dulu, hiburan yang utama adalah berkumpul dengan keluarga, dan ikut aktivitas peribadatan. Ayah Sutrisno adalah seorang pendeta dari satu-satunya wihara Budhis aliran Mahayana, Budha Dharma Indonesia di daerah itu dengan umat yang masih sangat sedikit, ia punya kebisaan dan sering membuat kaligrafi china di sela-sela kesibukannya mengurus toko kelontong dan usaha foto-kopi. Ibunya suka membuat baju, dan untuk keperluan inilah ia suka menggambar model-model untuk baju yang akan ia buat. Barangkali dari bakat seni kedua orang tuanya lah Sutrisno memilih profesi sebagai seniman. Di masa kanak-kana dan remaja Sutrisno sering berpartisipasi dalam kegiatan wihara yang mengadakan pertemuan 2 kali seminggu, masing-masing 2 jam. Dalam acara itu ada pula program untuk anak-anak, diantaranya: lipat kertas dan kegiatan ketramplan lain. Ketika masih di sekolah dasar Sutrisno menjadi bagian dari Tim Bintang wihara, dan menjadi salah seorang pengurus ketika belajar di SMP. Semasa di SMA ia ikut mengurus generasi muda wihara.

Sejak kecil punya minat menjadi komikus, karena ia gemar menggambar. Dunia dan perbendaharaan visualnya terbentuk oleh kebiasaan membaca cerita-cerita bergambar dari berbagai majalah. Kesempatan ini dimungkinkan karena orang-tuanya dulu pernah punya bisnis usaha percetakan dan menjual surat-kabar dan majalah. Majalah-majalah yang belum laku terjual bisa dibacanya dulu.Beberapa kali ia memenangkan lomba-lomba menggambar dan melukis yang diselenggarakan di Bone. Namun lama-kelamaan interest-nya berubah, yang membuatnya ingin jadi bintang film, selebriti tentunya. Setelah berjalan beberapa waktu ia ingin jadi seorang ilustrator dan grafikus.

Ketika membuat karya Sutrisno senang mengangkat tema-tema yang diangkat dari pengalaman-pengalaman yang ia alami benar dalam keseharian. Inilah kekuatan dia, yaitu mampu melihat hal-hal menarik dan bisa dipakai dalam konteks-konteks kesekarangan dari peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari. Misalnya untuk karya yang dibahas diatas Makan Dulu Baru Itu, ia menyoroti peristiwa kecil keseharian di seputar meja untuk makan bersama keluarga. Karya-karya lain diambil dari pengalaman-pengalaman bermain, bercengkerama dengan saudaranya dan orang tua, atau dari pergaulan muda-mudi. Yang dipentingkan bukan besar kecil peristiwa terjadi yang disoroti, melainkan intensitas perasan yang dirasakannya yang diupayakan hadir seoptimal mungkin via bahasa grafisnya.

Rangsangan untuk berkesenian di Makassar tidak sekuat di Yogyakarta yang sekarang hampir setiap hari ada pembukaan pameran, atau minimal ada pameran di beberapa tempat bergiliran atau sekaligus. Sutrisno banyak belajar di kota yang dihuni oleh banyak seniman dan calon seniman yang berasal dari berbagai daerah dan budaya. Di Makassar belum ada sekolah seni yang berbasis praktik. Sehubungan dengan inilah ia berangan-angan untuk suatu saat mendirikan sekolah seni di Makassar. Keinginan ini dikarenakan, menurut pengamatan dia selama ini, minat budaya masyarakat disana akan seni masih sangat terbatas. Rata-rata orang studi di bidang politik, hukum, ekonomi dan akuntansi, serta manajemen. Realita budaya yang menjadi kelaziman umum di Makassar itulah yang membuatnya termotivasi untuk belajar ke luar daerah.

Mengapa ke Yogyakarta?
Sutrisno bukan pemuda yang terbiasa menjelajah ketika lulus SMA. Bukan pula orang yang berani. Ketergantungannya pada orang-tua dan support kebersemaan keluarga sangatlah besar. Semula ia tidak punya rencana ke Yogyakarta. Jauh, dan belum ia kenal. Sesuatu yang tidak dikenal, sama saja seperti sesuatu yang tersimpan di file dalam harddisk komputer. Yogyakarta masih abstrak di benak Sutrisno sebelum ia punya interest ke Yogyakarta. Inilah poinnya, bahwa segala sesuatu baru ada dan bermakna setelah ia kita kenal dan kita amati secara seksama. Ceritanya demikian.
Pada suatu ketika ada kenalan ayahnya bernama Pak Rudi seorang pandita dari luar provinsi yang berceramah di komunitas Buddhis di Bone. Dalam ceramah itu Pak Rudi mengatakan satu pernyataan yang bunyinya kira-kira demikian: “Orang laki-laki yang cuma di rumah atau di daerahnya sendiri, tidak akan jadi apa-apa. Seandainya ia kaya, itu juga karena mendapat kemudahan atau warisan dari orang tua. Dan, kalau lelaki itu tidak punya kelebihan yang bias dibanggakan, para wanita tidak tertarik kepadanya”. Pernyataan ini benar-benar membuatnya sadar. Sutrisno tertantang untuk ke luar kampung, merantau. Ia lalu berpatokan pada konsep yang bunyinya kira-kira begini 'Tidak ada kata tak bisa, kalau orang lain bisa'. Lalu ia putuskan untuk pergi ke, dan belajar seni di Yogyakarta. Dari Makassar ke Yogyakarta ia harus naik kapal laut dulu ke Surabaya selama 3 hari dua malam, lalu ambil transportasi sambungan ke Yogyakarta – ia naik kendaraan travel. Untuk alasan praktis Sutrisno transit dulu dan memanfaatkan relasinya dengan komunitas Buddhis di Yogyakarta, dan secara kongkrit ia datang ke Wihara Buddhis di Jalan Soka, dekat Kridosono, Yogyakarta, tempat dimana sampai sekarang ia masih meminjam alamat dalam masalah kirim-mengirim barang atau surat.
Di Yogyakarta Sutrisno belajar banyak, ia harus berhubungan dengan orang-orang dan rekan-rekan dari berbagai budaya. Terbukalah mata dan cakrawala budayanya. Kalau dulu di kampungnya banyak orang, dan kebanyakan orang belajar ekonomi, manajemen, atau akuntansi, di Yogyakarta orang belajar macam-macam. Dan, banyak hal yang bisa dipelajari oleh Sutrisno tanpa harus mengeluarkan biaya. Salah satunya tentang budaya dan multikulturalisme. Tantangan berkarya juga besar di Yogyakarta, ia mendapat banyak saingan dan tantangan dari sesama mahasiswa. Dimensi karyanya yang relatif besar dalam konteks kesenigrafisan adalah salah satu untuk menjawab tantangan itu. Dari berbagai tantangan itulah ia belajar banyak hal: kemandirian, keterbukaan budaya, dan berbagai kebiasaan serta adat-istiadat yang tidak akan pernah ia dapatkan apabila ia masih berada di Kabupaten Watampone, Sulawesi Selatan.
Berkarya seni grafis yang sekarang ditekuni secara habis-habisan baginya bukan suatu media yang mudah dikuasai. Ia baru bisa berfikir secara alamiah dengan media grafis setelah ia mengeluti seni grafis di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, kurang lebih 4 semester. Mengapa? Sebab ketika orang membuat alat cetak grafis ia harus berfikir terbalik, diantaranya: kiri jadi kanan, yang dicukil dalam cukilan kayu jadi bagian yang tidak mencetak; yang tidak dicukillah yang akan membubuhkan tinta. Problemnya terasa sekali apabila seseorang harus membuat tulisan pada karya grafisnya, sebab ia harus menulis terbalik seperti tulisan yang terbalik dalam cermin. Sekarang keterbalikan itu telah menjadi alam berfikir visual kedua baginya. Dan, ternyata berfikir terbalik, dan/atau bolak-balik ini mempengaruhi cara pandang dia terhadap realitas. Ini membuatnya lebih peka dalam melihat potensi dari hal-hal yang dalam keadaan biasa tak terlihat maknanya.

Dimana Sutrisno dalam Peta Seni Grafis?
Sutrisno adalah pendatang baru di dunia seni grafis di Yogyakarta – kota yang telah melahirkan pegrafis-pegrafis andal untuk Indonesia, seperti: Widayat (almarhum), Y. Eko Suprihadi, Mansyur, Edi Sunaryo, Pahlevi, Yamyuli Dwi Imam, Pracoyo, Sri Maryanto, AT Sitompul, Andre Tanama dan beberapa pegiat seni grafis yang tidak sempat tersebut. Kompleksitas seni grafis baginya, misalnya keharusan berfikir detil sebelum mengeksekusi proses pengerjaannya, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Sebagai misal, salah mencukil dalam cukilan kayu berakibat fatal, terutama dalam pembuatan cetakannya, dan dalam proses mencetaknya.
Walau begitu Sutrisno tidak termasuk pegrafis yang terpaku pada teknik konvensional seni grafis, ia mengikuti para pegrafis cukilan kayu yang mewarnai hasil cetaknya pada kanvas dengan teknik hand-colouring. Konsep pembentukan bahasa kreatif dan perbendaharaan visualnya dipengaruhi oleh ketrampilannya mengolah gambar dan membuat animasi. Perlu diketahui, setelah 5 semester studi di FSR ISI Yogyakarta, tahun 2006, Sutrisno belajar animasi dalam program diploma 1 di Cybermedia. Maka jadi wajarlah kalau dalam efek gerak dan gerakan sering muncul dalam menganimasi figur-figur yang ditonjolkan. Misalnya, efek gerak-gerak ekor anjing dalam karyanya yang berjudul Makan Dulu Baru Itu. Melihat pola kerja, komitmen dan kekuatan olah grafis, dan kekuatannya menganimasi ide-ide simpel menjadi luar biasa, dapat dikatakan bahwa Sutrisno adalah salah satu dari sejumlah kecil pegrafis muda yang sangat menjanjikan untuk ukuran nasional
Untuk menjadikan karya-karya Sutrisno lebih menjanjikan lagi kiranya ada baiknya Sutrisno terus mengevaluasi dan merefleksi aspek-aspek teknis artistik dan konsepsualnya. Jangan sampai ada karyanya yang jadi terlalu 'manis', atau terlalu 'asin'. Berkait dengan ini ada satu hal yang menurut saya bisa dikoreksi untuk karya-karya Sutrisno mendatang. Pada karya Fall in Love, dan karya Belajar Memasak elemen-elemen yang sebenarnya tidak perlu dinyatakan, yaitu: tanda 'hati' simbol cinta pada Falling in Love; dan tanda 'tanda-tanya' pada karya Belajar Masak. Karena tanpa tanda-tanda tambahan itu pemirsa sudah mengerti maksudnya. Pada karya pertama, warna, bahasa tubuh, dan mimik figur-figurnya sudah menyiratkan rasa cinta yang mau Sutrisno katakan; di karya yang satunya lain bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya sudah menyiratkan kebingungan yang menghinggapi orang yang sedang belajar masak. Sebagai tip untuk ini ada baiknya dipertimbangkan satu ungkapan dari Taoisme yang kira-kiranya bunyinya demikian: 'Kalau bisa lima mengapa harus enam; kalau bisa tiga, mengapa empat?'

Nam myo ho ren ge kyo



Yogyakarta, Maret 2009
M. Dwi Marianto
PPs ISI Yogyakarta







Tidak ada komentar:

Posting Komentar